Monday, April 27, 2009

di ujung dunia

di tepi jurang itu kau pernah berteriak:
"aku berdiri di ujung dunia!"

aku tersenyum. berdiri di sampingmu, di ujung dunia, seperti katamu. melihat kebawah, ke jurang hitam yang kita tak pernah tahu dasarnya.

aku pun bertanya:
"bila aku terjun ke jurang yang gelap ini, akankah aku berada di ujung dunia yang lain?"

kau menatapku lurus-lurus. "kau tak akan berada di mana2 tanpa aku", kau genggam tanganku erat.

aku masih ingat wangi udara hari itu. hari dimana wajah ku memerah ketika kau melihat ke dalam hatiku. ketika kita mengira telah mencapai keabadian.

saat edelweis itu masih mekar di bawah kepulan asap, yang kini telah kelam seperti hampir mati. saat batu-batu jalan seolah bunga yang terhampar di kaki, kini terlihat mengejek langkah pendek kita.

kau hampa, aku kosong. mencapai puncak seperti dulu. "kita ada di puncak dunia", bisikmu.

aku lelah. aku sakit. kanker yang melilit paru-paru ku juga mengambil seluruh tenagaku. tapi kau tetap memaksa, untuk berdiri di puncak dunia, lagi, bersamaku.

kini kau tak lagi memegang tanganku seperti yang kau lakukan dulu. di pucak dunia ini, seperti katamu, kau memelukku dari belakang.

"dulu aku pernah bilang", bisikmu di telingaku. "bahwa kau tak akan berada di mana-mana tanpa aku. walaupun sebenarnya, aku yang tak akan berada dimana- tanpa mu."

pasti kali ini, lagi-lagi wajahku memerah. walaupun kanker itu menghabiskan seluruh tabungan kita, dan waktu untuk bersamamu setelah 3 bulan lagi, syukurlah ia tak bia mengambil mu dari sisiku.

yang kuingat, kau menangis dalam pelukku ketika dokter memvonis kenyatan pahit itu. aku hanya bisa memelukmu lemah, tak bisa berfikir apakah ku harus sedih atau senang. sedih karna kehilangan masa depan bersamamu, atau pun senang karna akhirnya ku tak usah lagi memebebanimu untuk merawatku seperti yang kau lakukan 2 tahun terakhir ini.

semilir angin dingin berhembus seperti hendak memisahkan kita. kau memelukku makin erat. entah berapa lama kita berdiam diri seperti itu, tanpa kata dan suara.

matahari telah hampir menghilang sepenuhnya. dan angin bertiup makin kencang dan dingin.

tiba2 kau melepaskanku.

"aku yang tak akan berada di mana2 tanpamu, cinta. aku! aku!". kau mulai menangis. "aku tak akan tahan untuk tidak bersamamu, membayangkan bahwa ku kan kehilanganmu, membuatku....... ah!" kau memalingkan wajahmu dariku.

kau berjalan menuju ujung dari ujung dunia. aku pun menyusulmu, untuk mengusir rasa gundahmu. untuk mengingatkan bahwa kita masih mempunyai waktu sebanyak-banyaknya 3 bulan. 3 bulan...

di ujung dari ujung dunia tiba-tiba kau berbalik, menghadapku. membuat ku tak bisa bergerak dengan tatapan matamu yang menembus hati.

"tapi...", tatapan matamu menjadi semakin tajam dan asing. "aku tak akan, tak akan pernah kehilanganmu".

kau berbalik, melangkah, dan menghilang dari hadapanku. "hiduplah.........!!"

ku dengar suaramu menghilang ditelan kegelapan jurang di ujung dunia itu.

aku tak bisa teriak!! aku tak bisa bersuara!! aku tak bisa bergerak!! kau menghilang....kau menghilang!!!

pembawa barang itu tiba tiba mengunci kedua lenganku. tapi aku tak merasakan kuatnya tenaga orang itu menahan diriku (yang mungkin ia pikir akan menyusul kepergianmu). dunia terasa berguncang, dan seakan tak ada udara untuk bernafas.

aku terduduk lemas.

kata-kata terakhirmu bergaung di kepalaku. kata-kata yang dulu sering kau ucapkan tiap kali ku masuk ruang operasi. hiduplah...hiduplah untukku, cinta.

bisakah kini ku ucapkan kata2 itu padamu? hiduplah untukku, cinta


*untuk empati yang telah mati

2 comments:

  1. good story
    kayaknya q hrus bljr banyak ni klu mau jd penulis

    ReplyDelete
  2. thanks nadhika. masih harus banyak belajar juga nih.

    ReplyDelete