Delisa mau mendapatkan kalung itu. D untuk Delisa. Tapi, hafalan shalatnya masih terbolak2 balik dan masih sering lupa. Kak Aisyah juga tidak membantu, bukannya memebaca bacaan solat keras pada saat solat shubuh, k aisyah malah memebaca nya pelan sekali hingga delisa tak bisa dengar.
Tapi delisa tak mau menyerah, demi kalung yang telah dibelikan ummi, dan sepeda yang dijanjikan abi, delisa harus bisa menghafal dengan sempurna bacaan solatnya. Dan hari itu pun datang. Hari yang sama saat tsunami menghantam pesisir aceh, dan turut memporak-porandakan Lok Ngha, kampung halaman delisa.
Delisa kehilangan Ummi, ketiga kakak perempuannya, dan sebelah kakinya. Dan yang paling parah, delisa juga kehilngan hafalan solatnya.
Gosh!! bener2 buku yang mengharukan.
Ga peduli fiksi atau fakta, ni buku tetep bagus.
Sikap delisa yang polos dan periang, membuat pembaca mau ga mau menanggung semua rasa sakit yang ga dirasakan delisa.
Hanya saja saya pribadi kurang suka dengan catatan2 yang di buat penulis saat adegan2 tertentu. Karena menurut saya, penulis mengharuskan pembaca berfikir dan merasakan hal yang sama dengan sang penulis, sedangkan pembaca justru ingin merasakan sensasi tersendiri. Bukan karena paksaan penulis.
Menurut gw:
bintang 4
Selain buku ini berhasil menguras air mata gw, buku ni juga menggambarkan keadaan latar aceh sebelum dan sesudah terjadinya tsunami.
"Hanya saja saya pribadi kurang suka dengan catatan2 yang di buat penulis saat adegan2 tertentu."
ReplyDeleteUntuk yg ini gue--entah gimana--setuju.
Gue menganggap itu sesuatu yg tidak perlu.
Bagi gue, note-note seperti itu kalau sebagai sebuah cerita, itu sangat mengganggu. Dan jika buku itu dilihat dari sisi non fiksi, note2 itu malah terkesan sebagai mencaci Tuhan. It's not good.
Tapi itu tetap sebuah karya.