Tuesday, December 15, 2009

Tentang sebuah keegoisan

Kegilaan. Kejahatan. Apatis. Ketakpedulian. Hatiku selalu teriris bila melihat pengemis di pinggir jalan. Aku tak memberi. Aku memberi. Tak ada bedanya. Bila aku tak memberi, aku hanya akan merasa bersalah dan jijik. Bila aku memberi, aku akan merasa was-was dan jijik. Jijikku bukan karena meraka kotor dan bau. Jijikku lebih kepada orang-orang itu yang selalu ada setiap hari. Bukannya ku melarang untuk tak ada pengemis lagi di dunia ini, tetapi lebih kepada idealisme buruk yang belum tentu diterima semua orang: setiap orang yang bekerja keras, akan mendapatkan hasil yang setimpal.

Lihat. Betapa egoisnya aku. Betapa aku, orang yang hampir tak pernah kekurangan, mengeluarkan kata-kata yang menjijikan dari hati yang kotor.

Aku lelah. Aku egois. Melihat mereka duduk disitu setiap hari. Melihat wajah mereka menunduk setiap kali. Melihat mereka meratap meminta belas kasihan. Mendengar suara mereka memelas minta diperhatikan. Merasakan keberadaan mereka. Tak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Mereka benar malang atau cuma sebuah profesi.

Hatiku telah terlanjur teriris melihat mereka. Sudah terlanjur luka. Berbekas. Telanjur membayangkan. Terlanjur mengira. Akankah aku seperti itu? Sendirian. Kotor. Meminta belas kasihan pada orang yang justru ku ganggu kenyamanannya. Meminta penyambung hidup pada orang yang justru ku usik kedamaiannya. Dengan ratapanku. Dengan keberadannku.

Aku tahu mengemis itu tak salah. Bukan merampok. Bukan mencuri, menjambret, memalak, atau sejenisnya. Tapi tetap saja. Aku takut. Bila seandainya nanti hidupku kan berakhir seperti itu. Aku tak ingin.

Aku mau membantu mereka... hanya saja.. aku tak tahu itu asli atau sebuah profesi.

11 desember 2009, sekitar jam 3 sore di perpus pusat ui depok.

1 comment: