“jangan menatap matahari secara langsung, nanti matamu buta”
Kalimat itu ku dengar ketika aku masih kecil. Karena penasaran dengan bentuk matahari, aku mencoba terus memandanginya, agar bisa tahu bentuknya apa: kotak, bulat, lonjong, atau jajaran genjang? Begitu seringnya aku menatap matahari hingga akhirnya ibuku mengeluarkan kalimat peringatan itu. Tapi aku tak kehabisan akal untuk kembali menatap matahari, yakni dengan memakai kacamata 3 dimensi. Dengan kacamata ini aku makin bisa melihat bentuk matahari yang sebenarnya, walau di mataku bentuk matahari masih saja tak jelas, masih terlalu banyak diliputi sinarnya yang panas menyengat mata.
Dan aku pun semakin tua dan (sepertinya) semakin dewasa. Kebiasaan menatap matahari ini tanpa sadar terus aku lakukan. Awalnya memang aku masih penasaran dengan bentuk matahari yang sebenarnya (walau selalu dijelaskan dalam buku IPA bahwa bentuknya bulat), tapi kemudian muncul lagi beberapa alasan lain dibalik kegiatan menatap matahari ini.
1. Panasnya matahari yang tidak terlalu terik membuatku merasa nyaman. Di pagi dan sore hari rasanya sering juga aku memaparkan tubuhku di bawah sinarnya. Dan juga wajahku, ke arahnya.
2. Kebutaan. Mungkin hal ini yang paling dihindari oleh mata manusia sebagai akibat dari memandang matahari terlalu lama. Awalnya aku pun takut menjadi buta, namun rasanya hal itu bukan sesuatu yang terlalu buruk. Karena perintah agama untuk “menjaga pandangan mata” sering sekali diulang, akumulai berpikir: sekalian saja tak bisa melihat, dengan begitu akan lebih mudah dalam menghindari dosa. Kan?
Aku pun memandangnya, melihatnya, merasakan panasnya di kulitku, mengharapkan kehadirannya di hari-hariku agar tempatku beraktifitas tetap kering dan cerah. Aku sering heran dengan mereka-mereka yang menghindari paparan matahari secara langsung karena takut kulitnya menghitam. Hei, bukankah rasa panas itu menyamankan (asal tidak berlebihan)? Kalaupun harus hitam, aku tak keberatan. Lagipula, kenapa memangnya kalau aku hitam? :)
Sering aku memandang matahari secara intens dalam waktu yang lama. Mencoba mencari bentuk matahari. Mencoba untuk membutakan mataku, dengan sukarela, dengan penuh kesadaran. Tapi nyatanya mataku masih bisa melihat, dan aku belum bisa menemukan bentuk matahari yang sebenarnya.
Konon bulan mendapatkan cahaya dari matahari. Kata buku-buku IPA itu, bulan tak memiliki cahaya dan hanya merefleksikan cahaya yang ia dapat dari matahari. Aku tak tahu apakah itu benar. Aku hanya punya dua pilihan: percaya atau tidak percaya. Dan aku belum memilih.
Aku pun gemar memandangi bulan, entah mengapa. Aku tahu bentuk bulan karena memang terlihat jelas, dan bulan tak bisa membutakan mata walau dilihat selama apapun, tapi aku tetap melihatnya, memandangnya, bahkan mengaguminya. Entah mengapa.
Matahari itu bisa membutakan mataku, menghangatkan kulitku dan hatiku.
Dan kini ia mengambil bentuk manusia.